Kekayaan alam yang dimiliki oleh negara Indonesia sangat berlimpah dan beragam. Tentu dalam memanfaatkan potensi, baik nilai tawar maupun nilai jual, tidak boleh serampangan. Sebab sudah jelas Undang-Undang Dasar (UUD) Tahun 1945 pada pasal 33 ayat 3 mengamanatkan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Dengan kekayaan alam yang dimiliki, maka tidak heran, jika Indonesia dikenal sebagai negeri gemah ripah loh jinawi (tenteram dan makmur serta subur tanahnya).[i]
Adapun kekayaan alam di Indonesia meliputi perairan dan daratan. Di wilayah daratan Indonesia memiliki banyak gugusan pulau dan deretan gunung, baik yang masih aktif maupun yang sudah mati. Kawasan pegunungan memiliki banyak manfaat bagi keberlangsungan hidup manusia dan menjadi sumber daya alam. Karena manusia dapat mengolah atau mendapatkan sumber bahan tambang, tanah di sekitar tempat tinggal menjadi subur, menjadi sumber mata air, mengelola tempat pendakian dan rekreasi.[ii]
Tak hanya itu, pegunungan juga merupakan cagar alam yang memiliki status tertinggi dalam kawasan konservasi. Salah satunya terdapat di Kecamatan Wuluhan, Jember, yaitu Cagar Alam Watangan. Terkait arti dari “Watangan”, menurut Deddy Endarto dalam bahasa Jawa Kuno dan Bali Kuno, adalah sebuah tempat kumpulan jasad yang mati. Saking begitu tuanya wilayah ini, orang-orang yang memiliki kaitan dengan Watangan sangat menghormatinya, sehingga dijadikan kawasan “wingit” yang harus dijaga dan dirawat kesakralannya.[iii]
Menurut data yang dihimpun Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BBKSDA) Jawa Timur, kawasan ini ditetapkan sebagai Cagar Alam Watangan, berdasarkan Surat Keputusan (SK) Gubernur GB 83 Stbl 1919 Nomor 392 tanggal 11 Juli 1919 dan diperbaharui dengan SK Menteri Pertanian Nomor 111/Um/1958 tanggal 22 Juli 1958 dengan luas 2 hektar. Secara geografis, terletak pada 113˚27’12” BT dan 8˚24’12” LS. Di mana batas kawasan sebagian batas alam (sungai) dan yang sebagian besar berbatasan dengan hutan produksi Perum Perhutani.[iv]
Kawasan Cagar Alam Watangan membentang dari arah barat, di Desa Puger Wetan, Kecamatan Puger, hingga ke timur, di wilayah Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan. Masyarakat Desa Lojejer menyebutnya “Gunung Watangan”. Kawasan ini memiliki keanekaragaman flora dan fauna. Kekayaan flora di antaranya pohon slumprit, bendo, lo, beringin, awar-awan, luwingan, kedoyo, kepuh, winong, jambu hutan, juwet, salam, waru laut, kesambi, rau, dadap serep, asam Jawa, kelampis, sempur, asem londo, jati, nyamplung, dan tanjung.[v] Sedangkan kekayaan fauna di antaranya kera abu-abu, kera hitam, kalong, srigunting, kutilang, trocokan, perenjak, dan ular sanca sawah, bunglon, serta tokek.
Penelitian skripsi Fitriyatul Hidayah menemukan kekayaan jenis tumbuhan paku (pteridophyta) di kawasan ini. Dia menyebutkan bahwa tumbuhan dengan nama latin pteridophyta berjumlah 1912 tumbuhan, yang mana terdiri dari 18 jenis dan tergolong dalam 9 famili. Rincian dari 18 jenis tersebut meliputi 1) Adiantum sp., 2) Phymatodes sp., 3) Tectaria sp., 4) Parablechnum cordatum (Desv.) Gasper & Salino, 5) Pytirogramma calomenalos (L.) Link., 6) Selliguea trilobal (Houtt.) ex M.G. Price, 7) Mesophlebion chlamydophorum (Rosenst.) ex C.Ch, 8) Drynaria quercifolia J. Sm, 9) Peasia radula (Baker) C. Chr., 10) Davallia denculata (Burn.f.) Mett. Ex Kuhn, 11) Nephrolepis biserrata (Sw.) Schoot, 12) Pteris biaurita L., 13) Hypolepis puctata (Thunberg) Mattenius, 14) Belvisia sp., 15) Pyrrosia piloselloides, dan 16) Pyrrosia sp., 17) Phymatodes schlopendria, serta 18) Micosorum sp.[vi]
Selain itu, kekayaan alam yang tersimpan di Gunung Watangan juga menjadi sasaran penambangan liar untuk mencari batu akik. Di kawasan cagar alam Gunung Watangan memang banyak ditemukan aneka jenis batu akik seperti batu panca warna, kecubung air dan kistal hijau.[vii]
Namun ada hal lain yang belum banyak diketahui publik, bahwa di Gunung Watangan ditemukan beberapa gua. Secara geografis gua-gua ini berada pada lingkungan daerah perbukitan kapur dan kawasan hutan jati milik Perhutani. Di sebelah barat, dibatasi oleh beberapa bukit kapur yang diteruskan dengan dataran rendah yang bergabung dengan Pantai Puger.[viii] Menurut Harry Truman Simanjuntak, gua-gua di Gunung Watangan merupakan salah satu rentetan dari Pegunungan Selatan. Adapun daerah Pegunungan Selatan sendiri merupakan sumber informasi prasejarah yang sangat lengkap dan dominan dalam berbagai fase, sehingga dikategorikan sebagai “Ibu Kota Prasejarah”.[ix]
Setidaknya ditemukan tujuh gua, yakni Gua Sodong, Gua Marjan, Gua Macan, Gua Gelatik, Gua Lowo, Gua Sumber Salak, Gua Maelang. Dari tujuh gua yang ada, ada tiga gua yang tidak layak huni (dua di Dusun Sebanen dan satu di Dusun Kepel). Dua gua (Gua Sodong dan Marjan) telah diteliti secara intensif oleh H.R Van Heekeren pada tahun 1931 sampai dengan tahun 1935 yang terletak di Dusun Krajan; dan dua gua hunian (Gua Gelatik dan Gua Macan di Dusun Kepel).[x]
Seorang ahli arkeologi dari Belanda bernama Hendrik Robbert Van Heekeren meneliti gua-gua ini sejak tahun 1931 sampai 1935. Di dalamnya Van Heekeren menemukan benda-benda arkeologis berupa alat batu dan alat-alat yang terbuat dari tulang manusia dan binatang. Alat-alat batu berupa kapak pendek, penyerut, serpih, bilah, dan mikrolit yang dikerjakan di salah satu sisinya. Selain itu juga ditemukan tengkorak manusia berciri Austro Melanesid. Tidak ditemukannya alat-alat yang terbuat dari logam membuktikan peradaban di gua-gua tersebut adalah peradaban batu Paleolitik yang terjadi di sekitar 2400 tahun lalu.[xi] Rentang tahun 1993 hingga 1997, Balai Arkeologi Yogyakarta juga melakukan penelitian di Watangan untuk mengetahui lebih dalam pemanfaatan ruangnya dengan menggunakan teknik paleolitik.[xii]
Berikut uraian temuan apa saja yang terdapat pada gua-gua di kaki Gunung Watangan:
Gua Sodong
Van Heekeren di Gua Sodong antara lain menemukan alat batu berupa serpih bilah dari bahan batu andesit, jaspis dan kalsedon, mata panah, gurdi, dan kapak genggam (Hoabianh). Alat tulang berupa sudip dan lancipan, alat-alat dan kulit kerang jenis Cyrena berbentuk lengkung juga ditemukan di gua ini. Temuan lainnya berupa bahan pewarna merah (oker merah), gigi geraham manusia, perhiasan dan kulit kerang mutiara yang diberi lubang, tulang-tulang binatang yang menandakan sebagai sisa makanan, dan rangka manusia dalam posisi terlipat.[xiii] Oleh sebab itu, Gua Sodong dijadikan sebagai tempat industri alat tulang. Gua ini terletak di selatan Gua Marjan, tepatnya melewati makam keramat Mbah Bedug.
Gambar 1. Gua Sodong[xiv]
Gua Marjan
Di gua ini Van Heekeren menemukan banyak sisa-sisa tulang manusia di antaranya dalam keadaan utuh dan sebagian ada yang menunjukkan gejala terbakar. Untuk rangka manusia yang utuh diletakkan dalam posisi terbaring, kaki terlipat dan menghadap ke arah timur-barat dengan kepala di sebelah timur. Sedangkan tengkoraknya telah pecah dan sebagian besar mukanya telah rusak. Sehingga pada gua ini digunakan sebagai kuburan. Gua ini berada pada jalan masuk menuju Gunung Watangan, kalau lewat jalur belakang pemukiman warga.
Gambar 2. Tampak luar
area Gua Marjan.
Gambar 3. Pintu masuk
dan keluar di Gua Marjan.[xv]
Gambar 4. Makam keramat
Mbah Bedug.
Gambar 5. Penampakan ruangan
dalam di Gua Marjan.[xvi]
Gua Macan
Adapun Gua Macan ini terletak di bagian paling selatan dari kaki Gunung Watangan. Gua ini mengarah ke timur laut. Kandungan temuan gua antara lain sampah dapur berupa kulit kerang (moluska), dan alat-alat batu seperti kapak perimbas, kapak penetak, serut, serpih-bilah, pembelah serta alat-alat dari kulit kerang terutama berupa sudip. Selain itu juga ditemukan limbah perkakas batu (tatal batu dan batu dipangkas), dan batu inti.[xvii] Dalam pemanfaatannya, Gua Macan ini sebagai tempat sampah dapur di era purbakala.
Gua Gelatik
Gua Gelatik terletak di sebelah utara dari Gua Macan, berjarak sekitar 300 meter. Adapun temuan perkakas batu di sekitar gua ini adalah perkakas berupa kapak perimbas, kapak penetak, serpih bilah, dan serut. Temuan permukaan yang istimewa dari gua ini adalah kapak penetak yang menunjukkan kesempurnaan teknologi clacton, dan merupakan perkakas satu-satunya dari bahan batu andesit di situs Lojejer. Sementara dari sisi pemanfaatannya, gua ini dijadikan sebagai tempat reparasi saat pembuatan alat batu.
Gua Lowo
Gua Lowo terletak di Dusun Kepel. Secara spesifikasi Gua Lowo atau sering disebut dengan Gua Panas (sebutan masyarakat Desa Lojejer, karena kondisi di dalam gua terasa panas) tidak menunjukkan indikasi sisa-sisa hunian manusia. Hal tersebut, disebabkan kondisi dalam gua sangat curam dengan batu-batu karang yang tajam dan licin. Selain itu di dalam gua ini terdapat aliran sungai.[xviii]
Gua Sumber Salak
Termasuk komunitas gua di Gunung Watangan yang tidak terjamah dalam penelitian Van Heekeren ialah Gua Sumber Salak. Itulah sebabnya gua ini malah dikunjungi kelompok pegiat budaya dan dijadikan bahan penelitian oleh peneliti lokal.
Gua Maelang
Gua Maelang memiliki keindahan yang eksotis. Karena di gua ini lebih dikenal air terjunnya yang sangat menarik. Bahkan dulu pernah dijadikan destinasi wisata. Air terjun ini terletak di Dusun Sebanen, Desa Lojejer, warga Lojejer sering menyebutnya dengan Air Terjun Maelang.
Dari beberapa gua yang telah disebutkan di atas, sebenarnya masih ada gua yang belum dijamah sama sekali. Hal inilah yang kemudian perlu ditelusuri lebih lanjut dan menjadi perhatian pemerintahan Desa Lojejer.
Budaya Konservasi “Krida Sinatria Bhumi Watangan” Masyarakat Desa Lojejer
Untuk menjaga kelestarian cagar alam Gunung Watangan, masyarakat Desa Lojejer mempunyai cara tersendiri untuk melakukan konservasi, yaitu melalui budaya bernama “Krida Sinatria Bhumi Watangan”. Sebuah budaya yang memiliki tujuan membangun kesadaran ekologis-kolektif, sekaligus mengingat kembali sejarah warisan para leluhur (nguri-nguri warisan leluhur) Desa Lojejer.[xix]
Menurut Dody Sunarso, sebelum adanya nama “Krida Sinatria Bhumi Watangan”, budaya ini bernama “Sedekah Desa”. Dulu acara ini diperingati dengan pelepasan joren, sejenis sesajen yang ditaruh pada tumpeng dan dilepas di laut. Semacam acara petik laut. Kemudian di era kepemimpinan Kepala Desa, Mohamad Sholeh tepatnya di periode ketiga tahun 2022, nama “Sedekah Desa” bertransformasi menjadi “Krida Sinatria Bhumi Watangan”.[xx] Mohamad Sholeh sendiri berharap kegiatan budaya ini terdaftar dan ditetapkan sebagai peringatan sejarah berdirinya Desa Lojejer di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) sehingga tidak ada pemalsuan sejarah, karena desa ini sudah berdiri cukup lama, yaitu sejak tahun 1913.[xxi]
Pelaksanaan “Krida Sinatria Bhumi Watangan” melibatkan di antaranya pemerintah Desa Lojejer, pelaku seni-budaya setempat, pemuka agama, dan akademisi. Rangkaian budaya “Krida Sinatria Bhumi Watangan” digelar pada tiap bulan Muharam (Suro: Jawa) selama sepekan dengan dikemas beberapa acara yang meliputi Jelajah Gua Purba, Teater Purba, Sarasehan Kepurbakalaan, Lingkungan, dan Kebudayaan, Sarasehan Pertanian, dilanjut dengan Sema’an Al-Qur’an, Solawat Al-Ghofilin, Workshop dan Lomba Penulisan Tradisi Lisan, Arak-arakan Gunungan, Gelar Seni, serta Sendratari “Krida Sinatria Bhumi Watangan.”[xxii] Menurut Mohamad Sholeh,“Krida Sinatria Bhumi Watangan” merupakan bentuk kolaborasi antara budaya dan agama.[xxiii]
Gambar 7. Prosesi “Krida
Sinatria Bhumi Watangan”.[xxiv]
Gambar 8. Pertunjukan
Teater Purba.[xxv]
[i] Setia Budi Sumandra, https://js.ugm.ac.id/2019/02/gemah-ripah-loh-jinawi-potensi-di-balik-bayang-bayang-kapitalisasi-di-indonesia/ . Diakses pada 11 Agustus 2024, pukul 00:24.
[ii] Fahmawati Nur Makrifah dan Endah Sudarmilah, “‘ Petualangan Guntur’”, Jurnal PROtek, vol. 06, no. 1 (Mei 2019):36. https://core.ac.uk/download/pdf/267889203.pdf
[iii] Admin Titan, Sarasehan Menguak Jejak Purbakala dan Peran Ekologis Benteng Alam Watangan Lojejer Jember - Titian . Diakses pada 20 Agustus 2024. Deddy Endarto, seorang pemerhati sejarah dan budaya dari Derap Kebudayaan Jember (Daya-Jember).
[iv] Bbksda Jatim, https://bbksdajatim.org/cagar-alam-watangan-puger-i/ . Diakses pada 11 Agustus 2024, pukul 01:38.
[v] Ikwan Setiawan, https://www.kompasiana.com/dekajekita/62165829dd39435c1246f8d2/gunung-watangan-benteng-alam-di-kawasan-selatan-jember?page=all&page_images=3 . Diakses pada 11 Agustus 2024, pukul 02:26.
[vi] Fitriyatul Hidayah, “Kekayaan Jenis Tumbuhan Paku (pteridophyta) di Kawasan Cagar Alam Watangan Puger Jember serta Pemanfaatannya sebagai Booklet”, 2019, hal. 83. https://repository.unej.ac.id/bitstream/handle/123456789/94372/Fitriyatul%20Hidayah%20-%20150210103035.pdf?sequence=1&isAllowed=y
[vii] Detiknews, Cagar Alam
Rusak Akibat Penambangan Liar Batu Akik, Polhut Perketat Penjagaan (detik.com).
Diakses pada 11 Agustus 2024, pukul 23:35.
[viii] Indah Asikin Nurani, “Teknologi Alat Batu Dan Konteksnya Pada Komunitas Gua Gunung Watangan,” Berkala Arkeologi 16, no. 1 (1996): 1–12. https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/berkalaarkeologi/article/view/741
[ix] Harry Truman Simanjuntak, Kehidupan Prasejarah di Pegunungan Seribu, Makalah dipresentasikan dalam Ceramah llmiah Pengembangan Budaya Pegunungan Seribu, Pacitan: 29 Januari 1994.
[x] Indah Asikin Nurani, “Teknologi Alat Batu Dan Konteksnya Pada Komunitas Gua Gunung Watangan,” Berkala Arkeologi 16, no. 1 (1996): 1–12. https://berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id/index.php/berkalaarkeologi/article/view/741
[xi] Detiknews, Cagar Alam Rusak Akibat Penambangan Liar Batu Akik, Polhut Perketat Penjagaan (detik.com). Diakses pada 11 Agustus 2024, pukul 23:35.
[xii] Nurani, “Teknologi Alat Batu Dan Konteksnya Pada Komunitas Gua Gunung Watangan.”
[xiii] Hendrik Robbert Van Heekeren, The Stone Age of Indonesia. Verhandelingen van Het Koninklijk Instituut Voor Tad-, Land- En Volkenkunde, (Leiden-Belanda, The Hague : Martinus Nijhoff, 1972).
[xiv] Sumber gambar : Foto dari penulis. Difoto pada 17 Agustus 2024, pukul 16:09.
[xv] Sumber gambar : Foto dari penulis. Difoto pada 17 Agustus 2024, pukul 15:55.
[xvi] Sumber gambar : Foto dari penulis. Difoto pada 17 Agustus 2024, pukul 15:59.
[xvii] lndah Asikin Nurani, Tata Ruang Gua Pada Permukiman Gua Di Indonesia, Jejak-jejak Budaya, persembahan kepada Prof. Dr. R.P. Soejono, (Yogyakarta: API Rayon II, 1994), hlm. 23-33.
[xviii] Nurani, “Pola Permukiman Gua-Gua di Kaki Gunung Watangan : Suatu Hipotesis Permukiman Gua Kawasan Timur Jawa.”
[xix] Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Dody Sunarso seorang Tokoh Budaya dan Sekretaris Desa Lojejer, pada 19 Agustus 2024.
[xx] Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Dody Sunarso seorang Tokoh Budaya dan Sekretaris Desa Lojejer, pada 19 Agustus 2024.
[xxi] Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Mohamad Sholeh yang menjabat sebagai Kepala Desa Lojejer, pada 16 Agustus 2024.
[xxii] Menara Madinah, https://menaramadinah.com/62847/krida-sinatria-bhumi-watangan-ajakan-merawat-benteng-alam-jember.html. Diakses pada 18 Agustus 2024, pukul 23:34.
[xxiii] Dekaje Kita, https://youtu.be/_BZQcH--CAw?si=lEHe_abYpkoprdLQ . Sambutan Mohamad Sholeh saat acara puncak “Krida Sinatria Bhumi Watangan”. Diakses pada 20 Agustus 2024.
[xxiv] Alvioniza, https://radarjember.jawapos.com/sinergi/793299841/menghormati-kesetiaan-watangan-melalui-ritual-dalam-galang-gerak-budaya-tapal-kuda . Diakses pada 20 Agustus 2024.
[xxv] Gandi Lukmanto, https://www.rri.co.id/features/446642/jelajah-gua-dan-teater-purba-kenalkan-jejak-kepurbakalaan-watangan. Diakses pada 19 Agustus 2024, pukul 02:55.
[xxvi] Mujibaturohman, Festival Galang Gerak Budaya Tapal Kuda,Sa'atnya para
Pemuda tampil Untuk kemajuan budaya di jember | PEMDES LOJEJER (kim.id). Diakses pada 20 Agustus 2024.
Posting Komentar