Cerita Payung Tentang “Daulat Pangan”



Di penghujung tahun 2024, tepatnya Sabtu, 7/12/24, mereka mendiskusikan isu “daulat pangan” di satu perguruan tinggi swasta di Jember. Diikuti calon peserta sekolah lapang dari unsur mahasiswa dan beberapa aktivis gerakan pertanian bukan arus utama, diskusi berlangsung di ruang kuliah yang sederhana, tanpa banner dan publisitas. Lebih empat jam mereka membangun persepsi tentang apa yang akan mereka jalani paling tidak dalam dua pekan ke depan.

 

Hari berikutnya, Minggu, 8/12/’24 , mereka ke lapangan. Mereka memilih titik lokasi pertanian paling hulu, di kaki Gunung Argopuro, beririsan dengan kawasan perkebunan dan hutan. Pilihan ini menarik sekaligus penting dalam beberapa hal. Ia merupakan kawasan yang paling sedikit sentuhan tangan manusia, sehingga keseimbangan ekosistem relatif terjaga. Kawasan ini juga mempertemukan ekosistem alami dan buatan, hutan dan kebun/sawah, sehingga menjadi ruang riset kehidupan yang lengkap.

 

Letaknya di hulu membuat Dusun Payung, Desa Suci, ini menjadi titik yang menentukan kawasan hilir. Mata air pegunungan Argopuro yang membentuk aliran sungai menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat di bawahnya. Sungainya mengalir cukup deras dan jernih. Dulu, saat banjir bandang melanda kawasan Kecamatan Panti pada 2006, dusun ini sempat terisolasi mengingat posisinya yang terkepung sungai. Meski demikian, luapan sungai tidak sampai menghancurkan permukiman warga sebagaimana dusun-dusun di bawahnya.

 

Di kawasan hulu anak-anak muda itu  mempelajari interaksi manusia dengan alam dalam lingkup mikro: pertanian.  Mereka tinggal di sebuah rumah sederhana di dataran paling tinggi, terpisah dari permukiman warga, dikitari persawahan, perkebunan karet dan sungai. Hari-hari pertama mereka lalui dengan membaur bersama para petani di sawah -ikut memanen, membajak, dan mencangkul. Tak jarang mereka ikut menikmati hasil panen, seperti kacang tanah, singkong, sayuran, bahkan durian. Bahkan mereka juga ikut membantu para petani membangun jembatan penyeberangan dari bambu, di atas sungai yang jika memasuki musim penghujan, airnya sangat deras. Malamnya mereka berkunjung ke rumah-rumah warga, juga ikut salat berjamaah di langgar terdekat. Setelahnya, mereka mencatat dan mendiskusikan kegiatan hari itu.

 

Untuk kebutuhan makan, mereka memasak sendiri, dibantu Bu Timah, si empunya rumah. Bu Timah tinggal sendiri di rumah itu, hidup menjanda. Selama ini, hanya siang hari ia menghuni rumahnya. Jika malam, ia tidur di rumah saudaranya di bawah. Sejak kedatangan anak-anak muda itu, Bu Timah selalu bermalam di rumahnya. Untuk kebutuhan sayuran, mereka mencari sendiri di areal persawahan dan perkebunan: cabai, tomat, daun beluntas, daun singkong, pakis, rebung, kelor dan berbagai jenis sayuran lainnya. Untuk lauk pauk, mereka cukup dengan membeli tempe dan ikan asin.  

 

Di sektor pertanian, anak-anak muda itu belajar dari unsur yang paling dasar: tanah. Mereka mempelajari segi fisika, kimia, dan biologi tanah dengan mengambil sampel tanah setempat. Untuk itu, mereka  menggunakan peralatan sederhana, memanfaatkan botol air mineral, juga kaca pembesar dan alat pengukur PH tanah. Hasilnya dicatat dan didiskusikan bersama. Mereka juga melengkapi diri dengan buku-buku bacaan: ilmu tanah, fisiologi tumbuhan hingga antropologi biologi, buku-buku metodologi riset aksi, juga yang tak kalah menarik ialah buku-buku karya Vandana Shiva,  fisikawan dan aktivis lingkungan dari India. Menariknya, buku terbaru Roem Topatimasang dan Ahmad Mahmudi, Pancaroba Nusantara (Insist Press, 2024), juga terpampang di perpustakaan mini mereka. 

 

Sistem pertanian di Payung tak jauh berbeda dengan pertanian pada umumnya di Jawa. Pasca panen, tumpukan jerami di sawah dibakar, pembajakan menggunakan traktor, juga pemakaian pupuk dan pestisida kimia. Varietas padi yang ditanam umumnya inpari 32, turunan dari varietas Ciherang. Hasil panen umumnya dijual, meski tidak seluruhnya. Bu Timah, misalnya, selalu menyimpan sebagian hasil panen untuk kebutuhan makan sehari-hari.   

 

Di luar teknik pertanian, ada praktik-praktik kultural yang masih lestari. Pernah, suatu sore, ketika hujan petir, Bu Timah melempar nasi ke luar rumah sambil membaca selawat, dimaksudkan sebagai tolak balak. Begitu pula di awal musim tanam atau menjelang panen, sesajen berupa jenang putih, jenang merah, bunga mawar, pandan, buah pinang yang semuanya dibungkus daun pisang, lalu lintingan tembakau, juga pala yang dibungkus daun talas, ditaruh di sudut pematang sawah. Bu Timah, dan petani-petani lain di sana, mungkin sedang bersedekah kepada bumi, karena dari bumilah mereka hidup -dari hasil bercocok tanam. Anak-anak muda itu merekam semuanya, dan melihatnya tidak dengan kacamata teologis, melainkan sebagai bagian dari kosmologi orang-orang Payung. Mereka melihat sistem pertanian di Payung tidak semata persoalan teknis, namun ada dimensi kultural yang melingkupinya. Dan anak-anak muda itu menghormatinya.   

 

Tak Semata Regenerasi Petani

 

Hadirnya anak-anak muda itu seakan memberikan harapan baru bagi keberlangsungan pertanian dan mewujudkan kedaulatan pangan. Karena, entah kebetulan atau tidak, kehadiran mereka bersamaan dengan digulirkannya program “Petani Milenial” yang diinisiasi Kementerian Pertanian. Program ini hendak menjawab problem regenerasi petani, selain upaya meng-upgrade teknologi pertanian. Dan ada insentif untuk itu.

 

Soal regenerasi, kondisi di lapangan menunjukkan fakta yang mengkhawatirkan. Dari penelusuran sepintas, anak-anak muda itu memperoleh data kasar bahwa di Payung, para petani rata-rata usia tua, di atas lima puluh tahun. Kaum  muda lebih memilih hijrah dari desa: ke Surabaya, Bali, bahkan Kalimantan. Dan umumnya mereka bekerja sebagai tukang atau buruh bangunan. Ironisnya lagi, rata-rata petani di sana hanya mempunyai beberapa petak (lokek) sawah, misalnya Bu Timah dan Pak Yanto yang hanya punya 3 petak, atau Pak Baijuri yang bahkan hanya memiliki 1 petak.

 

Terlepas sejauh mana keberhasilan program pemerintah dalam mencetak petani-petani milenial, gambaran kegiatan di Payung agaknya bisa menjadi bahan refleksi betapa dunia pertanian sungguh tidak sederhana. Bahwa pertanian tidak semata soal pemenuhan kebutuhan tenaga kerja dan pembaruan teknologi, tetapi lebih penting dari itu, ialah soal sikap mental dan ideologi –tentang pandangan hidup (welstanschauung), dan lebih jauh lagi, soal kebudayaan. 

 

Anak-anak muda yang terlibat dalam kegiatan dengan isu “kedaulatan pangan” itu berusia antara 19 hingga 24 tahun. Cukup muda, memang, untuk bertani. Namun mereka membekali diri dengan cara pandang yang tidak instrumentalis terhadap dunia pertanian, melainkan transformatif-ideologis. Mereka, misalnya, sedikit banyak berusaha menelaah Revolusi Hijau sebagai titik balik pertanian yang mengubah pertanian tradisional ke modern: peralihan dari sistem pertanian organik ke anorganik, dengan segala konsekuensi buruknya. Di titik ini, mereka menemukan satu soal: hilangnya kedaulatan petani atas pengetahuan dalam arti seluas-luasnya atas dunia pertanian mereka.   

 

Pertanian di Payung, sebagaimana umumnya di tempat lain, mengikuti daur tanam-panen-tanam, tanpa jeda. Benih dan pupuk sudah tersedia di kios-kios pertanian. Obat segala penyakit pertanian juga ada. Bahkan hampir nihil upaya para petani untuk mengenali unsur fundamental dalam pertanian: tanah. Mereka tidak pernah menyentuh persoalan tanah, tempat benih disemai. Keluhan mereka seringkali hanya berkutat, di antaranya, soal kelangkaan pupuk dan harga jual gabah.   

 

Karena itu, dengan peralatan riset sederhana –kaca pembesar, PH meter, dan kantong-kantong plastik- anak-anak muda itu mencoba mengembangkan riset pertanian dengan berangkat dari unsur paling dasar: tanah. Mereka mempelajari fisika, biologi dan kimia tanah: memahami bagaimana tanah berperan dalam ekosistem dan pertanian. Menggunakan kantong-kantong plastik yang diisi beberapa sampel tanah, mereka mengamati tekstur, struktur, dan warna tanah. Dengan kaca pembesar mereka berusaha melihat unsur mikroorganisme dalam tanah seperti bakteri dan jamur. Dengan  PH meter, mereka mengamati sifat kimiawi tanah, terutama tingkat keasaman dan kebasahan tanah. Mereka juga mencoba merintis teknik pertanian organik melalui pengembangan bakteri Trichoderma, juga pembuatan pupuk dan pestisida organik.

 

Dengan demikian, anak-anak muda itu melakukan kerja pemuliaan tanah, agar tanah bisa tetap menghidupi seluruh makhluk hidup di bumi ini. Upaya menyuburkan kembali tanah agar bisa digunakan secara berkelanjutan, yang oleh karenanya menjaga keberlangsungan kehidupan, ialah pengejawantahan dari al-dlaruriyat al-khamsah yang menjadi tujuan syariah, khususnya upaya perlindungan terhadap jiwa (hifdz al-nafs) dan keturunan (hifdz al-nasl). 

 

Namun, sayangnya, gerakan berskala kecil itu mengalami pasang surut. Kemampuan bertahan dan menjaga komitmen bersama teramatlah berat. Kuliah dan pekerjaan sampingan di antara faktornya, juga kegiatan organisasi. Hingga hari-hari terakhir dari pekan kegiatan intensif di lapangan, hanya satu-dua-tiga anak muda yang tetap bertahan. Sayangnya lagi, hingga detik-detik akhir secara resmi kegiatan “dibubarkan”, mereka belum berhasil menggaet bahkan satu anak muda setempat. Ironisnya, satu anak muda yang tergabung di komunitas ini justru beraktivitas di kota, bekerja di sektor jasa percetakan. Satu unsur penting dalam gerakan ini tak terpenuhi: partisipasi warga lokal. Dengan kata lain, keberlanjutan gerakan dari komunitas anak muda ini sedang di ujung tanduk. Maka, gerakan sosial dengan isu daulat pangan yang menjadi jargon anak-anak muda itu, dengan berat hati untuk mengatakannya, adalah terancam menjadi sebuah utopia.

 

Entah apa yang terjadi di sektor pertanian Payung ke depan, juga di kawasan pertanian lain di dataran rendah di Jawa? Anak-anak muda yang hengkang ke luar desa, ialah problem besar regenerasi dunia pertanian di Payung. Mungkin program petani milenial yang melahirkan petani-petani muda yang dibekali dengan perangkat teknologi pertanian digital menjadi jawabannya. Namun, apa artinya bertani tanpa ruh? Apakah petani-petani milenial itu memiliki ikatan historis dan emosional, bahkan spiritual dengan tanah? Meski konteksnya berbeda, sekadar pembanding, di Banyuwangi, program regenerasi masif penari gandrung oleh pemerintah setempat sukses menghasilkan ribuan gandrung-gandrung muda. Akan tetapi, apakah mereka mewarisi ruh tari gandrung? Apakah aroma ritual dan mistis dalam gerak tari sekadar gerak ritmik tanpa jiwa?


Penulis: Redaksi Ngenger

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama