Suatu ketika, pertengahan 2019 -tanggal dan bulan berapa
saya tak ingat-, sebuah pesan WhatsApp masuk, mewartakan haul tiga tokoh
sufi di bumi paling timur Jawa. “Ini forum langka, ada warisan ajaran Sunan Kalijaga
dan Syekh Siti Jenar yang masih hidup sampai sekarang.” Pesan itu dikirim oleh
orang yang saya kenal setahun sebelumnya dalam sebuah kegiatan riset
kebudayaan, di sebuah desa di Banyuwangi. Pak Dalah, ia laki-laki tua pembaca
berat buku, dan suka berbagi pengetahuan dan pengalaman hidup dengan kalangan
akademisi, pegiat budaya dan sejarah, juga komunitas lintas agama, etnik, dan
ideologi.
Membaca pesan Pak Dalah, dahi saya berkerut: bukankah
ajaran Syekh Siti Jenar telah usang, atau bahkan telah mati? Ajaran Sunan Kalijaga
pun mungkin hanya kulit permukaannya saja yang tersisa? Tembang, wayang, dan
simbolisme budaya Jawa sudah hampir sulit dijumpai dalam tradisi pesantren,
komunitas pewaris Islam Nusantara. Adakah yang masih mendendangkan Lir ilir,
Sluku-sluku Batok, atau menyelenggarakan pementasan wayang kulit di
kalangan santri kini? Bukankah metrum-metrum macapat sudah tergantikan oleh bahar-bahar
dalam ilmu ‘arudh?
Tentang Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar, saya
mengenalnya terutama dari film dengan judul yang sama yang dirilis tahun 1985.
Tentang Sunan Kalijaga, namanya masih terabadikan hingga kini lewat nama sebuah
kampus di Yogyakarta. Saya mengenang sosoknya lebih sebagai salah satu dari
sembilan wali dari kalangan pribumi, Jawa. Saya juga pernah berziarah ke
makamnya di Kadilangu, Demak. Makamnya pun tak sepopuler makam-makam Wali Songo
lainnya, seperti Sunan Ampel, Sunan Giri, Maulana Malik Ibrahim, Sunan Drajat,
Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati. Khusus Syekh Siti Jenar, sosok
kontroversial ini saya juga mengenalnya melalui novel berjilid-jilid Suluk
Abdul Jalil yang ditulis oleh Agus Sunyoto (2003).[1]
Juga dari buku Abdul Munir Mulkhan, Syekh Siti Jenar: Pergumulan Islam-Jawa[2]
dan Achmad Chojim, Syekh Siti Jenar: Makrifat Kasunyatan.[3]
Tanpa pikir panjang, saya menyanggupi hadir. Namun,
karena keliru informasi mengenai tanggal, saya gagal menghadirinya. Acara
terlewatkan. Dan setelah vakum sekian waktu akibat pandemi Covid 19, suatu hari
di bulan Juli 2022, sebuah pesan WhatsApp masuk: “Acara haul dan pembacaan tarikh
malam Selasa. Malam Rabu pementasan wayang. Lakonnya Begawan Bima Suci dan
Begawan Cipto Wening.” Wah, ini sebuah kemewahan, pikir saya -tema
pencarian kesejatian melalui cerita wayang dalam dunia yang nyaris tak peduli
lagi soal sangkan paran –sebuah konsep Jawa tentang asal, tujuan, dan
pencarian makna hidup. Lakon yang cukup serius. Dan, tentu saja, tak lazim:
haul dengan ngaji pewayangan.
Menjelang senja
saya berangkat. Bersepeda motor, menghindari risiko macet. Jalur pegunungan
Gumitir di perbatasan Jember-Banyuwangi kerap macet. Ditambah lagi musim hujan,
tak jarang terjadi longsor. Magrib masih di Mayang, Jember, padahal acara
dimulai setelah Isya. Saya terus memacu motor. Memasuki Gumitir, jalanan mulai
padat merayap, hujan deras berselimut kabut tebal. Azan Isya berkumandang
sesaat setelah keluar Gumitir. Sampai di Geneng, saya beberapa kali berhenti,
sekedar bertanya arah ke Singo. Setelah beroleh informasi, saya melanjutkan
perjalanan. Hujan tak kunjung reda, malah kian menderas saat memasuki Singo.
Beberapa kilometer jalanan menuju Singo rusak parah, separuh badan jalan
hancur, separuhnya lagi dalam proses pengecoran. Jalanan sunyi, sepi. Hanya
terdengar bunyi hujan yang tersapu angin. Hembusan hawa dingin menyergap di
sepanjang jalan menuju desa di kaki Gunung Raung itu.
Memasuki Singo,
tak tampak tanda-tanda keramaian, seperti lazimnya acara haul. Masjid-masjid di
sepanjang jalan Desa Singo sudah tak berpenghuni, gelap. Saya lupa nama masjid
tempat acara haul yang tertera di pesan WhatssApp. Pesan itu terhapus.
Saya mencoba menelepon si pengirim pesan, beberapa kali, namun tak ada jawaban.
Tak patah arang, saya terus saja ke utara, arah Gunung Raung, hingga kemudian
saya melihat sejumlah mobil yang terparkir di bahu jalan. Tak ada hilir mudik
orang, bahkan tak seorang pun tampak. Hujan tak jua reda. Berjarak seratus
meter melewati mobil-mobil yang terparkir tadi, saya berhenti di sebuah warung
yang masih buka. Saya membeli rokok sambil menanyakan acara haul. Pemilik
warung menjawab tak tahu, bahkan tak mengenali nama tuan rumah maupun tokoh
sufi yang saya sebut.
Tak tahu harus
ke mana di desa yang diguyur hujan deras malam itu, saya lalu putar balik, ke
tempat mobil-mobil terparkir tadi. Celingak-celinguk, usai memarkir motor, saya
memasuki gang sempit. Setelah melangkah tiga puluh meteran, saya melihat
sekitar dua ratusan orang duduk bersimpuh di sebuah bangunan kecil mirip
langgar, khusyuk menyimak ceramah. Saya turut bergabung meski tak seorang pun
yang saya kenal. Tak bisa dipastikan apakah saya tidak salah alamat. Namun,
ketika mendengar uraian materi ceramah bermuatan sufistik, saya meyakini benar
inilah tempatnya. Lagi pula, kalau toh salah alamat, ke mana lagi saya harus
mencari lokasi haul di malam yang dingin menggigil, di tengah hujan yang
menderas, di sebuah kampung yang sunyi senyap?
Saya duduk
bersila di antara para jamaah, ikut menyimak ngaji suluk oleh sang kiai –yang
kemudian saya tahu di kalangan jamaah dipanggil dengan sebutan ‘Bapak’- yang
duduk tepat di depan mihrab. Saya duduk tak tenang. Hampir separuh pakaian
basah oleh hujan. Saya bergeser ke dapur umum, menghangatkan badan di tungku.
Setelah sekian putaran menit saya menyimak, saya memastikan inilah haul yang
dimaksud dalam pesan WhatsApp: “Ini mungkin yang tersisa, kalau bukan
satu-satunya, pewaris ajaran Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar. Sebab seiring
arus muslim Nusantara yang belajar ke Timur Tengah, Islam Jawa yang bernuansa
sufistik terputus,” begitu di antara isi pesan WhatsApp, demi meyakinkan
saya untuk hadir di acara haul.
Sebagian jamaah
berada di dalam masjid. Separuhnya lagi di serambi. Dan khusus jamaah perempuan
di halaman masjid yang beratap. Sepanjang acara, jamaah tidak diperkenankan
menghidupkan HP. Ada larangan tertulis di sebuah papan kecil di dinding masjid.
Juga larangan memotret. Meski tak utuh, lamat-lamat saya mendengar uraian
mengenai tingkatan jalan suluk: dari syariah, tarekat, hakikat hingga makrifat;
paparan tentang konsep insan kamil sebagai tujuan purna manusia, juga tentang sangkan
paran. Diurai pula ajaran Martabat Tujuh dalam kitab Tuhfah (al-Tuhfah
al-Mursalah), ajaran yang pernah populer di Nusantara sekaligus
kontroversial –sebuah tafsir Syekh Al-Bunhanpuri (w. 1620), seorang ulama sufi
dari India, atas konsep Tauhid Wujudiyah Ibnu Arabi (1165-1240 M) dan
Al-Jili (1365-1402 M).[4]
Setelah acara
selesai, saya bertemu dengan Pak Dalah yang ternyata berada di dalam masjid,
duduk di jajaran paling depan, dekat ‘Bapak’ -laki-laki sepuh Pak Dalah
menyebutnya “Mutiara dari Timur”. Saya menyalami Pak Dalah, juga sang ‘Bapak’.
Oleh Pak Dalah, saya diminta menginap, sambil menemani berbincang dengan salah
satu jamaah dari Kediri, Ashari, murid ideologis Bondan Gunawan, mantan ketua
Forum Demokrasi (Fordem) menggantikan Gus Dur, dan pernah menjabat Menteri
Sekretaris Negara era Presiden Gus Dur. Ashari mengaku sempat menjadi sopir
pribadi Gus Dur.
Saya turuti
permintaan Pak Dalah untuk menginap. Jadilah kami ngobrol santai bertiga
sembari ngopi di teras masjid, seputar isu politik terkini, juga cerita
kenangan mereka bersama Gus Dur saat masih aktif di Forum Demokrasi. Tak lupa,
saya banyak mendengar perihal haul, kunjungan Gus Dur dan Mas Bondan ke Singo,
juga tentang apa itu ‘kanok’,[5] sebuah bangunan dengan arsitektur yang unik
tempat acara dihelat malam itu. Dengan setengah berkelakar, Pak Dalah berucap:
“Gus Dur saat ke sini dulu bilang, saya telah mempelajari banyak hal di dunia
ini, tapi lupa belajar cara menjemput ajal.” Kami semua tertawa.
Malam itu
sebagian jamaah menginap, terutama jamaah dari luar kota. Ada juga rombongan
jamaah dari Mlangi, Yogyakarta. Saya diarahkan ke lantai dua, sebuah bangunan
berkonstruksi tak lazim yang disebut kanok, tempat kami menginap. Di
ruangan ini terdapat anak tangga menuju ke cungkup bangunan berbentuk limasan,
yang kata Pak Dalah, tempat ritual wukuf. Ruangan lantai dua memiliki empat
pintu sesuai arah mata angin. Di atas tiap-tiap pintu terpasang sebuah pigura
yang di dalamnya terdapat teks tulisan tangan berbahasa Arab: Syariat, Tarekat,
Hakikat, dan Makrifat, lengkap dengan takrifnya:
الشريعة بدن النبي صلعم : الشريعة فعل المأمورات
وترك المنهيات وعلمها علم اليقين اي علم الحق وعلمها علم الناسوت اي علم الناس او
المؤمن ومقامها فراق اي فراق بين العبد والسيد وذكرها ذكر اللسان لا اله الا الله
محمد رسول الله وروحها روح الجسم اي روح فى الجسم كالماء فى الشجر الرطب هذا
المعنى ليس هكذا هذا المذكور من قول النبى محمد صلعم.
الطريقة قلب محمد صلعم
الطريقة فعل المأمورات وترك المنهيات وعلمها عين اليقين
اي عين الحق وعلمها علم الملاكوت اي علم الملائكة ولا تكن من شاك ذكر القاب ولفظه
لايفعل الا الله والطريقة ذكر النبي صلعم.
الحقيقة شرع الروح فى
القلب الحقيقة فعل المأمورات وترك المنهيات وعلمها علم الجبروت اي لا يشعر شيئا
ومقامها الجمع اي الجماعة مع الله وذكرها ذكر الروح بلفظ الا الله اي لاحياة الا الله
فقط وروحها روح الإضافي اي روح يضاف الا الله وهو روح النبى محمد صلعم.
المعرفة شرع سر الحق
المعرفة فعل الماءمورات وترك المنهيات وعلمها أكمال
اليقين وعلمها لاهوت اي بحر لا مناحل له هذا عالم الله تعالى ومقامها جمع الجمع اي
شديد الجماعة مع الله اسمها كامل الكامل روحها روح القدوس اي الطهور ذكرها سر بلفظ
لا موجود الا الله اي لا موجود الا الله فقط.
العبد فى أكبر الله يحمد
و يحمد الا نفسه بلفظ هو هو هو ان كنت ان تعبد الله حق عبادته فافعل أربع حصال
المذكور وهو الشريعة والطريقة والحقيقة والمعرفة.
Masih di
ruangan lantai dua, di beberapa titik di dinding ruangan terpampang lukisan
wayang Bima –juga dikenal dengan nama Werkudara, foto Bung Karno dan
Ronggowarsito. Bima atau Werkudara, putra kedua dari pasangan Pandu dan Kunti,
merupakan tokoh penting dalam kisah epik Mahabharata. Mungkin karena itulah ia
dipilih sebagai lakon pementasan wayang dalam acara haul. Bung Karno, kita tahu
siapa sosok ini: sang nasionalis. Yang menarik perhatian saya ialah nama
terakhir, Ronggowarsito. Saya mengenal tokoh ini di tahun-tahun pertama di
bangku kuliah, dari guru saya, seorang yang tekun mendalami Islam Jawa: Pak
Simuh –Allahu yarham. Bahkan beliau secara khusus menelaah ajaran
Ronggowarsito dalam naskah Serat Wirid Hidayat Jati –naskah yang memuat ajaran
tentang ma’rifat, martabat tujuh dan konsep manunggaling kawulo-gusti yang
kemudian diterbitkan dengan judul Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi
Ranggawarsita.[6]
Dari buku Sejarah Kyai Ageng Mohamad Besari yang saya peroleh saat
ziarah ke Tegalsari, saya tahu Ronggowarsito (Bagus Burhan) pernah nyantri di
Pesantren Gebang Tinatar Tegalsari di bawah asuhan Kiai Kasan Besari, putra
Kiai Besari Tegalsari Ponorogo.[7]
Di lantai
bawah, di antara dua pintu bagian depan masjid, terpajang foto hitam putih sang
‘Bapak’ duduk berdampingan dengan Gus Dur dalam sebuah pigura. Gus Dur dan
karibnya, Mas Bondan, memang pernah berkunjung ke sini di awal ’90-an. Ada pula
lukisan seorang laki-laki berserban dengan pakaian jubah putih menunggang kuda
putih dan seekor kuda hitam yang hanya berpelana tanpa penunggang, dan satu
kuda lagi berwarna coklat yang juga tanpa penunggang, dengan latar belakang
pepohonan, danau, pegunungan dan sebuah menara seperti mercusuar berada di
pinggir danau yang mengeluarkan sinar berwarna keemasan laksana matahari. Kuda
putih berada paling depan, sementara di belakangnya kuda hitam mengikuti arah
jalan si kuda putih, dan kuda warna coklat tanpa penunggang yang berjalan ke
arah yang berbeda dari dua kuda lainnya. Siapa penunggang kuda putih? Apa arti
kuda putih dan hitam? Lalu apa arti kuda coklat tanpa penunggang yang ‘memilih’
arah berbeda?
Jajaran
penanda-penanda –haul dan lakon wayang, Sunan Kalijaga dan Syekh Siti Jenar,
Sukarno dan Ronggowarsito, lukisan wayang Bima, lukisan kuda, wukuf, tingkatan
syariat-tarekat-hakikat-makrifat, dan Kanok- yang saya temui malam itu
seolah membawa saya memasuki dimensi keberislaman yang lain: perpaduan nuansa
Jawa, Islam mistik-sufistik, dan ideologi nasionalis. Kecuali kanok dan
lukisan kuda, saya tidak benar-benar merasa asing dengan ragam penanda itu.
Hanya, saya tumbuh tidak dalam tradisi yang ngugemi kejawaan dengan
baik, apalagi dimensi Islam mistik-sufistik. Jawa, dalam tradisi tempat tumbuh
kembang saya, hanya merupakan lapisan tipis identitas. Saya lahir sebagai orang
Jawa, tapi sesungguhnya saya tidak mengenali Jawa. Demikian pula Islam, saya
masih berada di lapisan luarnya -syariat, dan itu pun setipis pemahaman saya
tentang Jawa.
Esok harinya,
saya pulang dengan membawa kegundahan. Di hari-hari berikutnya, sekali dua tiga
saya bertemu kembali dengan Pak Dalah, dan dalam setiap perjumpaan itu kami
selalu meluangkan berbincang tentang ‘dunia lain’, dan mengenalkan lebih jauh
tentang jamiyah yang disebutnya “Musyawarah Sufi”. Darinya saya mendapatkan
beberapa literatur yang beredar di kalangan terbatas di komunitas itu, di
antaranya Kitab Samud Ibnu Salam, Kitab Kawruh, Kitab Mi’raj,
juga Kitab Wali Sepuluh.[8] Tak
hanya itu, saya juga mendapatkan kumpulan rekaman audio ‘halaqah’
Musyawarah Sufi. Dari rekaman ini saya mempelajari lebih jauh dan mendalam
tentang jamiyah dan ajaran di dalamnya.
Penulis: M. Ardiansyah
[4]
Kontroversi kitab Tuhfah dan ajaran Martabat Tujuh memicu ulasan
khusus oleh Ibrahim al-Kurani (1616-1690) dalam kitabnya Ithaf al-Dhaki
untuk memenuhi permintaan murid sekaligus sahabatnya dari Nusantara: Syekh
Abdurrauf al-Sinkili (1615-1693).
[5]
Satu-satunya informasi me ngenai apa itu kanok saya peroleh dari Pak
Halik, semacam tempat musyawarah kaum sufi. Menurutnya, kanok berasal
dari kata qana’ah. Saya browsing di google tak satupun memperoleh
informasi mengenai kanok terkait dengan sufisme.
[6] Lihat
Simuh, Mistik Islam Kejawen Raden Ngabehi Ranggawarsita, Suatu Studi Terhadap
Serat Wirid Hidayat Jati (Jakarta: UI Press, 1988).
Posting Komentar