James C. Scott adalah Profesor Kepala
Ilmu Politik dan Antropologi di Universitas Yale di mana ia bertanggungjawab
untuk Program dalam Kajian-kajian Agraria. Penulis buku-buku fundamental
tentang lapangan-lapangan kajian Agraria dan Gerakan-gerakan Sosial (tapi
beresonansi luas dalam bidang-bidang ilmu sosial lain), yakni The Moral Economy of the Peassant: Rebellion
and Subsistence in Southeast Asia (1977), Weapons of the Weak Everyday
Forms of Peassant Resistance (1985), dan Domination
and the Arts of Resistance: Hidden Transcripts (1990), Scott akhir-akhir
ini juga menerbitkan The Art of Not Being
Governed: An Anarchist History of Upland Southeast Asia (2009). Karyanya
telah menjadi sumber utama inspirasi bagi kami dan karena itu kami
mengundangnya untuk mengunjungi Portugal guna mendiskusikan sejumlah
elemen-kunci penelitian-penelitiannya.
Percakapan berikut bertempat di
Lisbon, April 2012, diikuti banyak mahasiswa dan peneliti baik dari Portugal
maupun Spanyol. Percakapan awalnya diarahkan oleh pertanyaan kami sendiri dan
kemudian dibuka untuk diskusi, menerima beberapa pertanyaan dari hadirin. Subyek
diskusi berkisar dari ikutserta Scott dalam Gerakan Perestroika dalam Ilmu Politik sampai kritiknya
mengenai Negara dan konsep
modernisme-tinggi (lihat Seeing like a
State – How Certain Schemes to Improve the Human Condition Have Failed,
buku Scott 1998). Percakapan juga termasuk sudut pandangnya mengenai perlawanan
dan kaitannya dengan sumbangsih para penulis seperti, diantaranya, E.P.
Thompson, Michel Foucault, dan Pierre Clastres. Akhirnya, kita juga
mendiskusikan kemungkinan suatu “arus-balik anarkis” dalam ilmu-ilmu sosial dan
mengenali hukum Scott tentang kalistenik anarkis, dan beberapa petunjuk mengenai
buku barunya, Two Cheers for Anarchism:
Six Easy Pieces on Autonomy, Dignity, and Meaningful Work and Play (2012).[1]
PEWAWANCARA
(PWW)
Mari kita awali dengan beberapa
pertanyaan perihal formasi akdemis awal anda, yang mana, sejauh kami tahu,
lebih langsung berhubungan dengan Ilmu Politik. Jadi, Bagaimana bisa anda masuk
Antropologi dan bagaimana Antropologi memasuki tempat penting dalam karya anda?
JAMES
C. SCOTT (JCS)
Terimakasih. Aku tersanjung sekaligus
ngeri karena jumlah orang di sini dan juga karena perubahan tempat acara.
Ruangan lainnya kecil dan nyaman dan yang ini ruangan yang mengintimidasi.
Karena struktur hirarkisnya, aku merasa aku hendak mengoperasi beberapa pasien
dan mencangkok ginjal. Jadi, ruangan memerlukan sesuatu yang lebih penting
dariku dari pada yang aku harus sampaikan dan aku ingin kalian semua tahu bahwa
kalian semua dapat panjang umur dan hidup bahagia tanpa mendengarkanku. Aku
dididik sebagai ilmuwan politik dan pertanyaan mengenai bagaimana aku menjadi
seorang antropolog, seorang antropolog gadungan, tumbuh dari karyaku mengenai
para petani gurem. Aku menulis sebuah
buku berjudul Moral Economy of the
Peasant – Rebellion and Subsistence in Southeast Asia sudah lama lalu
[1977], buku utama pertamaku, didasarkan sepenuhnya pada sumber-sumber perpustakaan dan karya arsip. Setelah aku
menerbitkannya, orang-orang bertanya padaku di mana aku lakukan kerja-lapangku
dan faktanya aadalah aku tidak melakukan kerja-lapang. Jadi, aku malu bahkan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka. Karena aku putuskan untuk
membaktikan karierku pada titik ini untuk mempelajari para petani gurem, aku
pikir bahwa, bila aku akan melakukannya, aku perlu menghabiskan dua tahun atau
lebih di sebuah desa petani gurem, sehingga setiap saat aku tergoda untuk
membuat suatu generalisasi besar, aku punya sebuah tempat nyata yang aku pahami
dan sehingga aku dapat menguji generalisasi-generalisasi . Jadi, aku
menghabiskan dua tahun di sebuah desa Melayu, hasilnya adalah Weapons of the Weak, seperti yang kalian
tahu. Faktanya aku adalah seorang pembelot, seorang desertir dari pasukan para
ilmuwan politik dan aku secara formal tidak pernah dididik sebagai seorang
antropolog. Sekitar limabelas tahun lalu, saat aku memberikan ceramah kecil di
Toronto, posternya menyebut “James Scott, antropolog sosial dari Yale”. Itu
adalah pertamakali seseorang keliru menyebutku sebagai seorang antropolog dan
aku sangat bangga, aku simpan poster kecil itu. Itu seperti seseorang yang
ingin diterima sebagai anggota suatu suku dan ditolak dan kemudian, akhirnya,
aku punya momen yang aku dapat telah lalui, seperti kita katakan, sebagai
seorang antropolog. Aku selalu mengiri Antropologi dan aku lebih bahagia dalam
suku ini daripada sebelumnya dalam suku Ilmu Politik.
PWW Dalam analisa anda, seperti yang kita telah
diskusikan, pemahaman orang-orang terhadap situasi mereka sendiri,
pandangan-dunia mereka, adalah sangat penting. Apakah anda piikir ada sesuatu
yang biografis dalam relevansi ini? Apakah ini merefleksikan ideal-ideal
demokrasi yang tersosialisasi dalam diri anda?
JCS Aku belum memikirkan pertanyaan itu. . .
Aku dapat menceritakan pada kalian mengenai keberkaitannya tapi aku tak yakin
kisahnya hakiki. Kita semua menceritakan kisah mengenai diri kita sendiri.
Izinkan aku memulai jawaban dengan suatu kisah yang aku sangat senangi, oleh
Jean-Paul Sartre. Aku kira dalam L’Être
et le néant (Being and Nothingness), ia menciptakan
situasi yang mana seorang lelaki menghadapi suatu pilihan apakah tetap tinggal
bersama ibunya yang sakit atau pergi bersama istrinya yang pergi untuk kerja.
Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan: ada sedua kewajiban yang ia pikul. Tapi
harinya tiba, sama seperti saat hari pemogokan tiba dan orang-orang harus
memutuskan untuk ikut mogok atau tetap tinggal di pabrik. Bagaimanapun, saatnya
tiba dan katakan saja, lelaki itu memutuskan untuk tinggal bersama ibunya yang
sakit. Argumen Sartre adalah bahwa kelak ia akan dapat memberimu suatu kisah
tentang mengapa ia adalah sejenis laki-laki yang mau tinggal bersama ibunya
yang sakit. Ini tidak menjelaskan
mengapa ia lakukan apa yang ia lakukan, ini hanya berarti bahwa ia harus
menciptakan suatu kisah kelak untuk memahami dirinya sendiri. Dengan cara yang
sama orang-orang menunjukan hubungan dalam karyaku yang aku tak yakin
benar-benar hakiki tapi aku akan ceritakan kisah yang sesuai untuk
pertanyaanmu. Aku bersekolah di suatu sekolah Quaker. Aku tak tahu apakah
kalian tahu banyak mengenai Quaker, tapi secara historis Quaker adalah sekte
protestan yang keras yang tumbuh dalam Perang Sipil Inggris. Mereka menolak
untuk menyebut “Sir”, “Ma’am” atau “Mr.”, mereka menolak melepas topi, mereka
memanggil setiap orang dengan nama depannya. Ini adalah sejenis egalitarianisme
linguistik, bila kalian suka. Dan mereka adalah suatu sekte radikal. Pemimpin
pertama Quaker diingkari, secara prinsip, dalam reaksi Cromwellian. Di sekolah
di mana aku tumbuh ada banyak pengelak wajib militer dari Perang Dunia Kedua,
para lelaki baya yang memilih masuk penjara daripada bertempur dalam
ketentaraan. Sebagaimana kalian dapat bayangkan, ini bukan suatu hal populer
untuk diperbuatdan begitulah aku mempunyai, dalam arti itu, teladan dipenjelang
ku para lelaki yang memilih masuk penjara dan yang mampu tegak berdiri dalam
suatu kerumunan banyak orang dan menjadi seorang minoritas. Aku pikir Quaker
mengajariku bagaimana tegak berdiri dalam suatu kerumunan orang banyak dan menjadi
yang minoritas. Quaker dapat melakukannya seraya mencintai musuh mereka; aku
tidak dapat melakukannya. Aku hanya dapat tegak berdiri sebagai seorang
minoritas, justru dengan marah. Jadi, aku tidak punya jiwa Qiuaker tulen. Tapi
Quaker punya suatu hal lain, yang mana berada pada pusat doktrin mereka
mengenai “cahaya Tuhan dalam setiap manusia”, entah seorang pengemis atau
seorang budak. Quaker bertanggungjawab atas reformasi penjara, untuk apa yang
disebut rel-kereta bawahtanah yang membawa para budak ke Kanada melalui suatu
pengambilalihan areal-areal pertanian sepanjang jalan utara, sehingga mereka
dapat melarikan diri. Mereka bertanggungjawab untuk sebagian besar pendidikan
bagi para Pribumi Amerika. Ada semacam “pekan-kerja” Quaker yang mana kita akan
menghabiskan sepekan di tengah-tengah mereka yang sangat termiskin di
Philadelphia. Ini semacam perjalanan
pengusiran yang Quaker berikan padaku dan itu sangat mempengaruhi. Aku tidak
tumbuh besar dalam keluarga Quaker, karena kedua orangtuaku ateis. Aku kemudian
sempat menjadi seorang Quaker walaupun hari ini aku tidak mempraktikan
Quakerisme. Sekolah itu luar biasa mempengaruhiku. Ayahku meninggal saat aku
sembilan tahun dan jadi sekolah menjadi semacam orangtua pengganti bagiku.
Tapi, sekali lagi, ini adalah suatu kisah yang aku ceritakan dan ini sebenar
setiap kisah yang aku mau kisahkan pada kalian. Tapi aku tidak benar-benar
yakin ini berkaitan.
PWW The Moral Economy of the Peasant
memicu debat sengit dalam kajian petani gurem dan, terutama, antara anda dan
Samuel Popkin, yang menulis sebuah buku untuk membanrah tesis anda.
Terminologi-terminologi debat tersebut tidak sepenuhnya baru, dan mengulangi
beberapa diskusi lama antar pandangan-pandangan antropologi yang bertentangan
mengenai pentingnya budaya guna memahami ekonomi untuk argumen-argumen yang
lebih bermanfaat. Debat tersebut sangat relevan dengan ekonomi dan sudut-sudut
pandang antropologis mengenai individu
dan sosial, tapi juga punya kemaknaan epistemologis yang dalam. Apakah anda
pikir ini diskusi yang masih berarti saat ini dan, jika demikian, dengan cara
apa anda pikir bahwa terminologi-terminologi debat ini telah berubah sejak itu?
JCS Bagi
diantara kalian yang mungkin telah membaca The
Rational Peasant – The Political Economy of Rural Society in Vietnam-nya
Samuel Popokin [1979] dan buku pertamaku The
Moral Economy of the Peasant, ini mungkin berarti. Hal yang menyesalkanku
mengenai debat tersebut adalah penyebutan bukuku The Moral Economy of the Peasant, yang mana disarankan pada beberapa
orang bahwa aku pikir para petani gurem adalah altruis, bersedia untuk
membaringkan hidup mereka bagi sesama mereka dan ini adalah “satu untuk semua
dan semua untuk satu”, semacam komunitas komunis primitif. Tapi aku
menyatakannya sangat jelas bahwa para petani gurem, sebagaimana aku pahami,
berperilaku sangat-sangat rasional dan bahwa mereka ingin melindungi diri
mereka sendiri terhadap dampak paling buruk dari kekurangan pangan dengan
pengaturan-pengaturan sosial yang memberikan suatu jaminan terhadap dampak yang
paling buruk. Dalam hal ini, aku mempunyai suatu gambaran para petani gurem
yang benar-benar rasional yang beroperasi dalam kondisi-kondisi yang sangat
sulit guna memastikan bahwa masalah-masalah pasokan pangan mereka tidak
mengakibatkan paceklik dan kelaparan. Aku pikir bukuku adalah suatu kajian
mengenai kaum petani gurem yang rasional. Manakala Samuel Popkin menyebut
bukunya The Rational Peasant, ini
menyiratkan bahwa aku punya suatu teori yang gila atau kaum tani altruistik.
Aku pikir ini sangat pintar; ini misrepresentasi debat dan, tentu saja, seperti
yang kalian siratkan, dua buku tersebut lantas dianggap sebagai semacam “kembar
setan” dalam banyak ruang kelas dan aku pikir ini adalah ruang kelas yang
berhasil sebagai pengajaran debat, walaupun aku pikir judulnya mengarahkan pada
banyak kesalahpahaman. Pertanyaannya adalah apakah perdebatan ini sahih pada
hari ini, aku kira jawabannya ya, artinya, bahwa dalam Ekonomi dan Ilmu Politik
gagasan Individu yang memaksimalkan agen berada tepat di pusat Ekonomi
Neoklasik dan banyak Teori Pilihan Rasional dalam Ilmu Politik.
Walaupun aku pikir Teori Pilihan Rasional mempunyai hal-hal penting yang mengajari kita, pokok dalam The Moral Economy of the Peasant adalah pengaturan yang mungkin telah mempunyai suatu basis rasional, lama kelamaan, bila bernilai dan menjadi lazim, memerlukan semacam nilai moral, sehingga manakala dirusak dan dilanggar, reaksinya bukan hanya kehilangan pangan atau pendapatan, tapi suatu reaksi yang mempunyai nada moral terhadap pelanggaran semacam kontrak sosial. Kalian tidak dapat menghitung, aku kira, untuk kegusaran, kemarahan, dan kegeraman petani gurem, kecuali kalian menghitung, bila kalian mau, surplus kegeraman yang melampaui apa yang diturunkan secara rasional. Dan nampak padaku bahwa kita dapat katakan ini tentang segala hal pilihan kita, kendatipun banyak orang berbicara dalam semacam kosakata neoklasik mengenai relasi-relasi personal (dalam bahasa Inggris dan bahasa Inggris Amerika, orang akan mengatakan “Aku banyak berinvestasi padanya” dan “Aku harus memangkas kerugianku”, dan sebagainya). Ini kosakata yang menjadi hegemonik sementara faktanya kita tahu tak seorangpun membuat pilihan seperti ini yang tidak dimasukan dengan suatu penanaman kombinasi yang menerima gagasan mengenai apa yang wajar, adil, lazim, tradisional dalam kobtrak sosial, disamping kalkulasi rasional, yang mana mendapat tempat tapi bukan tempat yang hegemonik dalam pembuatan keputusan kita mengenai apapun.
PWW Anda telah mengkritik gagasan bahwa bawahan
mematuhi tatanan yang ada karena mereka menerima ideologi dominan. Tapi dalam
karya Anda, Anda terutama membahas bentuk-bentuk dominasi yang berkaitan dengan
perbudakan, kepemilikan, kelas, dan kekuasaan politik. Tidakkah Anda pikir
bahwa beberapa tipe ketaksetaraan diterima secara lebih luas, seperti yang
berkait dengan pememilikan kebudayaan atau modal pendidikan? Dan tidakkan ini
berarti bahwa mereka yang kurang atau tidak punya akses pada hal-hal tersebut
mempercayai pentingnya modal-modal tersebut?
JCS Aku kira pertanyaanmu tepat dan penting.
Dalam The Moral Economy of the Peasant,
Weapons of the Weak and Domination and
the Arts of Resistance, aku memilih dengan sengaja, secara seksama,
situasi-situasi yang di dalamnya terjalin hubungan-hubungan biner yang kuat
(sahaya dan majikan, budak dan tuan, petani gurem dan tuan tanah, paria dan
brahmana) sebagian karena ada kepustakaan yang membuatku memahami kedua sisi
biner tersebut. Ini memperlihatkan padaku bahwa manakala kalian memiliki,
katakanlah, barang prestise yang bernilai seperti kemakmuran atau
pendidikan yang, setidaknya secara
mendasar, dapat dicapai oleh semua, maka ini jauh lebih mudah untuk
melegitimasi perbedaan. Tentu, pada Republik Revolusi pasca-Prancis Modern
mitologinya adalah bahwa perbedaan-perbedaan yang eksis didasarkan pada
kriteria meritokratis: prestasi, pendidikan, gelar, keterampilan, dan
sejenisnya. Dalam hal ini, dan ini adalah cara yang sangat kasar untuk memahami
demokrasi kontemporer, namun ini juga suatu titik tolak yang bagus, dalam
kehidupan politik Barat neoliberal yang diorganisir untuk keuntungan bagi 15%
atau 20% yang berada di puncak dari distribusi pendapatan. Mereka mengontrol
legeslasi, uang, partai-partai dan semacamnya. Muslihat dalam suatu pemilihan
adalah meyakinkan 30% berikutnya untuk takut pada 50% yang berada di dasar
daripada cemburu pada 20% yang berada di puncak. Ini adalah sihir perdukunan
pada setiap pemilihan. Ini tidak selalu berhasil, tapi untuk sebagian besarnya
ini berhasil karena, seperti Gramsci pahami, kuntungan-keuntungan posisional
untuk menanamkan pengaruh kemakmuran di media, dan sejenisnya, mempunyai suatu
kekuasaan besar untuk meyakinkan mereka yang 30% bahwa posisi mereka juga
lemah. Dalam hal ini, kebermungkinan pelegitimasian perbedaan-perbedaan dalam
peluang-peluang hidup, dan penghargaan untuk hal tersebut, dalam demokrasi
sekular modern jauh lebih besar dari yang ada dalam sistem yang aku analisa
dalam karyaku. Ini seperti ilmiahisme
pertengahan, suatu permainan internal. Aku sebenarnya berpikir bahwa air pasang
telah menyerang pemodelan formal dan kuantitatif semata-mata dan pilihan
rasional bekerja, sebagian karena “gerakan Perestroika”, tapi tidak hanya
karena itu. Ada yang lebih menekan pada tekhnik-tekhnik kualitatif, dan sehingga,
aku tak secara umum optimis, tapi aku pikir ombak telah memuncak untuk
pemodelan formal semata-mata dan kerja kuantitatif semata-mata.
PWW Karya
anda menghubungkan dirinya sendiri pada dua warisan yang kerap mengkhususkan:
warisan E.P. Thompson dan warisan Foucault, yaitu kajiannya mengenai
kepemerintahan, kekuasaan, dan perlawanan. Dan, untuk menyatakannya secara
mudah dan secara terbuka: Apa yang pemikiran Foucault tersebut berikan pada
persepektif-perspektif Anda yang Thompson tidak berikan? Dan apa anda pikirkan
mengenai pemikiran bersama seduanya?
JCS Pertanyaan
itu memerlukan sehari penuh simposium mengenai E.P. Thompson dan mengenai Foucault,
tapi kita tak punya waktu untuk itu. Disamping The Great Transformation-nya Karl Polanyi, The Making of the English Working Class-nya E.P Thompson mungkin
hal paling penting yang aku baca ketika aku seorang sarjana yang masih muda:
Aku dapat mengingat kursi dan ruangan yang di mana aku duduk seraya membacanya,
ini sangat terkenang. Bagiku, argumen bahwa kesadaran kelas adalah suatu produk
perjuangan kelas daripada perjuangan kelas adalah suatu produk dari kesadaran
kelas, adalah pemikiran yang brilian. Ini bukan seolah-olah ada suatu kelas
yang sadar proletariat yang kemudian memutuskan untuk berjuang tapi bahwa,
faktanya, suatu perasaan kekelasan keluar dari perjuangan-perjuangan menuntut
upah, menuntut, seperti yang ia katakan, jatah biskuit dan hal-hal kecil. Dari
hal tersebut, suatu perasaan tentang siapa kita dan apa yang sedang kita
perjuangkan, muncul kesadaran kelas. Ini, seperti yang ia katakan, syarat
terakhir dari relasi kelas, bukan yang pertama.
Aku pikir ini mengarahkan orang yang mau mempelajari kelas mengenai
mikro-politik perjuangan-perjuangan pada level dasar. Bagiku, itu adalah contoh
pertama mengenai seseorang yang telah melakukannya dengan cara yang meyakinkan
yang aku ingin teladani dalam karyaku sendiri. Foucault betul-betul hal yang
sangat berbeda dari apa-apa yang telah kita bicarakan. Aku kira, karya Foucault
paling penting bagiku adalah Discipline
and Punishment. Tidak dapat dibayangkan aku dapat menulis Seeing Like a State – Betapa skema-skema
tertentu untuk meningkatkan kondisi manusia telah gagal tanpa suatu gambaran
usaha Foucault. Ia tidak menggunakan
kata legibiltas, yang mana aku gunakan dalam Seeing Like a State, tetapi, dalam
suatu artian, ia mempunyai suatu teori legibiltas yang aku pinjam sangat
banyak. Jadi, Aku banyak berhutang pada Foucault. Satu hal – dan aku duga tak
seorang akan mencelanya sebagai orang mati – tapi satu hal yang aku kritik dari
Foucault adalah karena ia terus menjanjikan suatu teori perlawanan yang ia
tidak pernah wujudkan. Katakanlah, ia benar-benar meyakinkan mengenai
dampak-dampak kapiler kekuasaan, legibilitas, kontrol, cara kekuasaan bekerja
pada level-level mikro. Ia kemudian
terus mengatakan perlawanan dapat dipahami dengan cara yang persis sama, tapi
ia tidak pernah cukup bergerak untuk mengisi sisi lain yang ia janjikan. Aku
yakin ia sudah, ia telah mengajariku banyak hal. Aku terus menunggu. Bersama
setiap buku baru yang ia terbitkan, aku membayangkan, “Ini, ini akan
mengajariku mengenai perlawanan!”. Aku kira ia sangat memesona dan sangat
brilian dalam menggambarkan dampak-dampak mikro kekuasaan sehingga ia tidak
pernah ke mana-mana untuk mengerjakan banyak hal guna menganalisa perlawanan
dengan cara yang sama.
PWW Kajian-kajian
Agraria adalah bagian penting dari karya Anda dam Anda bahkan bertanggungjawab
untuk pengorganisasian suatu seminar penting mengenai tema ini di Yale untuk
lebih dari satu dekade. Kami ingin mengetahui pemikiran-pemikran Anda tentang
peningkatan jumlah paten bibit dan tanaman dan, terutama, bagaimana kau melihat
fenomena macam ini dalam cahaya suatu karya seperti Seeing Like a State?
JCS Aku
tidak menganggap aku punya segala yang lebih waskita untuk mengatakan mengenai
hal ini daripada kalian semua, mungkin. Aku belum mengerjakan suatu kajian
khusus mengenai itu, meskipun aku punya sejumlah siswa yang tertarik pada
Monsanto dan Genetically Modified Organisms (GMO). Usaha yang bermula di
Pengadilan Amerika tahun 1970-an untuk mematenkan bentuk-bentuk kehidupan yang
adalah semacam pengandangan kebersamaan, suatu pengandangan botanis dan
kekayaan organik di dunia, yang di dalamnya kalian kemudian dapat mengambil
suatu komposisi organis dan dengan mengubah satu asam amino kamu dapat
mematenkan bentuk kehidupan ini dan menggugat siapapun yang melanggar paten
tersebut. Sejarah pemilikan adalah perluasan imperial untuk pemilikan dengan
mengandangkan hal-hal yang kau tak pernah imajinasikan sebagai subyek dari
relasi pemilikan. Sebagai misal, upaya privatisasi pasokan air, paten
bentuk-bentuk baru kehidupan, penyedotan darah dari kelompok-kelompok pribumi
guna mematenkan enzim-enzim tertentu yang mereka miliki dan orang lain tak
punya. Ini nampak menjadi perbatasan terkahir dari hubungan pemiilikan. Dengan
suatu cara, yakni, pemusnahan suatu kebersamaan alami yang kita semua
seharusnya mempunyai hak-hak yang setara dan tak harus menjadi subyek
klaim-klaim pemilikian pribadi yang monopolistik.
PWW Pada
hari ini nampak ada semacam kembalinya gagasan dan prinsip anarkis. Hal ini
mungkin lebih kasatmata pada level politis/aktivis tapi juga pada level ilmu
pengetahuan. Judul dan subjudul buku terakhir Anda berbicara mengenai ini: The Art of Not Being Governed – An anarchist history of upland Southeast
Asia. Dan kita juga dapat menyebut karya kolega Amerika dan antropolog
Anda, David Greaber, sebagai misal, dengan Fragments
of an Anarchist Anthropology-nya. Impilkasi-implikasi dalam ilmu-ilmu
sosial macam apa yang dapat kita harapkan dari semacam “kembalinya anarkis”.
Akankah ada suatu implikasi pada level metodologi, epistemologi, etik, gaya
penulisan?
JCS Juga
suatu pertanyaan yang menarik karenanya aku pikir aku mungkin punya sesuatu
untuk aku tambahkan. Pada permulaan upayaku untuk memahami revolusi-revolusi
kaum tani gurem, aku menyadari bahw hampir semua revolusi yang aku pelajari
justru menciptakan Negara yang lebih kuat yang mampu menyejahterakan dirinya
sendiri dengan menghisap rakyatnya dengan lebih menindas dan menyeluruh
dibanding kan Negara yang digantikannya. Karenanya tumbuh perasaan sedih dan
murung jika membaca sejarah-sejarah revolusi yang menciptakan Negara-Negara
yang lebih kuat dan kerap lebih menindas. Seorang kawanku pernah berkata, “Kau
tahu, ketika revolusi menjadi negara saat itulah ia menjadi musuhku”. Aku pikir
ini adalah pengamatan yang tepat. Jadi, aku dengan sendirinya mengatakan
hal-hal yang sebelumnya mereka ujarkan, aku menyadari dalam kepalaku,
“Suara-suara seperti apa yang seorang anarkis akan katakan”. Dan demikianlah:
dua titik membuat sebuah garis dalam geometri, tapi manakala titik ketiga, keempat,
kelima, dan keenam semuanya menoktah pada garis yang sama , kalian harus
memberi perhatian. Jadi, aku putuskan untuk mengajarkan tentang Anarkisme di
Yale dan telah berjalan selama tiga tahun, yang mana, seperti kalian dapat
bayangkan, membawa semua calon sarjana berjejal dalam satu ruangan. Jika kalian
menjatuhkan sebuah bom di atas ruang kelasku, kau akan sudah memusnahkan
seluruh calon sarjana di Universitas Yale dalam sekali tiup. Kami bersama-sama
membaca anarkis klasik yang kalian semua sudah ketahui. Tapi aku putuskan aku
akan mencoba menulis dengan cara berbeda dari yang aku telah tulis secara
historis, yang mana adalah suatu cara yang benar-benar dorongan batin. Jadi,
aku putuskan untuk mencoba suatu bentuk tulisan yang berbeda, suatu gaya tulisan
yang longgar dan lebih mudah.
Aku menulis sebuah buku yang akan terbit empat sampai lima bulan lagi berjudul Two cheers for Anarchism!, bukan tiga, tapi dua tempik buat Anarkisme. Bukan tentang sejarah pemikiran anarkis atau gerakan-gerakan anarkis. Kalian tak akan mempelajari apapun tentang hal tersebut dari buku ini. Ini adalah suatu upaya untuk memahami bagaimana jiwa atau kepekaan anarkis yang mungkin dapat membantumu memahami kesetaraan dan potensi-potensi kebebasan pada tiap institusi sosial. Anarkisme berarti mutualitas tanpa hirarki, kerjasama dan koordinasi tanpa hirarki, bukan kekacauan tapi jenis tertentu tatanan. Dan juga, Aku berusaha membahas mengenai apa itu arena bermain anarkis, monumen anarkis, situasi kerja anarkis, atau menyerupai kampung halaman masyarakat lama anarkis, dan bagaimana kalian dapat mengevaluasi institusi-institusi dalam hal tingkat kebebasan dan otonomi yang mereka selaraskan dengan masyarakat, dan penghargaan mereka untuk beragam cita-cita masyarakat dan kebutuhan-kebutuhan perubahan mereka, alih-alih memanipulasi identitas dan hasrat masyarakat tersebut. Aku berusaha mengeluarkan, adalam artian, bagaimana suatu kepekaan anarkis mungkin dapat membantu kita mengevaluasi institusi-institusi.
Aku akan ngomong satu hal lain. Aku
memulai buku dengan apa yang aku sebut, dengan lancang, Scott’s law of
anarchist calisthenics. Aku di Jerman Timur setahun pada 1991, setelah tembok
Berlin runtuh, aku bekerja di sebuh desa kaum tani gurem selama enam pekan guna
meningkatkan bahasa Jermanku karena aku tak mau duduk di dalam Goethe Institute
dengan para remaja. Pada satu pekan, karena para kaum tani gurem Jerman Timur
tempat aku numpang takut padaku dan aku bosan dengan mereka, aku putuskan untuk
memberikan liburan pada mereka dariku dan sekaligus meliburkan diriku sendiri
dari mereka. Jadi, aku pergi ke kota Neubrandenburg dan untuk enam pekan,
menunggu kereta yang akan membawaku kembali ke desa, di depan stasiun kereta
aku lihat lampu merah. Saat itu petang dan mutlak tak ada lalang lalu lintas.
Dataran Mecklenburg rata: Kalian dapat melihat sejauh delapan kilometer pada
tiap arah dan tidak ada kendaraan yang menjelang. Tapi ada 60 orang jerman
menunggu lampu berganti. Lampu diatur untuk siang hari, aku kira. Itu memakan
waktu lima sampai enam menit, dan semua orang Jerman itu menunggu lampu
berganti, dan karena aku merasa percaya diri sebab kalimat bahasa Jerman
terakhirku berfungsi, aku jalan menyeberang dan diomeli. Dan apabila kalimat
bahasa Jermanku gagal, dan ini kerap terjadi, aku menunggu saja bersama mereka
sampai lampu berganti. Marah pada diri sendiri karena menunggu, aku menemukan
Scott’s law of anarchist calisthenics, yang berbunyi seperti ini: Suatu hari
dalam hidupmu, kau akan terpanggil untuk melanggar hukum besar dan segala
sesuatunya akan tergantung pada ini. Berpikir mengenai gerakan hak-hak sipil,
melaga kebebasan, melanggar hukum-hukum pelawatan di Afrika Selatan,
penangkapan-penangkapan sipil dalam demonstrasi. Jika kalian ingin bersiap
untuk hari besar itu, segala sesuatunya akan bergantung pada hal ini, dan
kalian, karenanya harus tetap di sasana dan menggembleng diri. Dan jadim kalian
harus, setiap dua atau tiga hari, melanggar hukum kecil, sehingga kalian siap
ketika momen besar menjelang dan kalian dapat melanggar hukum besar. Dan
kemudian aku melanjutkan dengan menjelaskan bahwa di abad 20 setiap episode
utama perubahan struktural di Amerika Serikat berasal dari gangguan
ekstra-perlementer di luar sirkuit-sirkuit normal politik-politik legeslatif.
Ini adalah semacam tragedi bahwa semua institusi demokratis tersebut, yang
dianggap menjadi kendaraan-kendaraan penerjemahan dan perubahan untuk
kehendak-kehendak rakyat, sesungguhnya tidak berfungsi di negeriku sejak
pergantian abad, kecuali jika mereka disertai oleh banjir bah besar kekacauan
yang tidak dapat dijinakkan. Perubahan-perubahan besar tersebut hanya terjadi
sebagai suatu akibat dari gangguan-gangguan, yang mana dapat mengarah pada lain
hal, konsekwensi yang lebih buruk, tapi mereka nampak menjadi suatu kebutuhan walau kondisinya tak mencukupi untuk
perubahan struktural berskala besar.
PWW Secara
umum Anda membahas tindakan negara dengan sangat kritis. Tapi, seperti yang
Anda tahu, setelah Perang Dunia Kedua dan dalam konteks Perang Dingin,
negara-negara Barat, dan demokrasi sosial terutama, memainkan suatu peran kunci
dalam mendemokratisasi masyarakat dan dengan – walaupun tak banyak – menekan
ketimpangan-ketimpangan. Negara Kesejahteraan diserang oleh Konservatif sejak
tahun-tahun Reagan-Thatcher dan Anda menemukan para pendukungnya pada Kaum
Kiri.
JCS Aku
sendiri pasti akan membela Negara Kesejahteraan melawan serangan neoliberal.
Bagaimanapun, kita tidak boleh berpikir Negara Kesejahteraan sebagai sekedar
produk dari suatu pemerintah yang jinak dan murah hati. Sesungguhnya Negara
Kesejahteraan adalah produk dari perjuangan-perjuangan yang menciptakannya
keping demi keping. Jika kau berpikir mengenai, katakanlah, New Deal (Kebijakan
Baru yang dijalankan oleh Presiden Roosevelt untuk mengatasi Depresi tahun
1930-an) di Amerika Serikat, legislasi sosial adalah hasil dari kerusuhan, yang
membuat Franklin Roosevelt berpaling pada aspek-aspek perubahan struktural yang
kita tahu disebut New Deal. Itu bukan suatu pengakuan oleh para elit bahwa
rakyat membutuhkan Negara Kesejahteraan. Itu adalah, jika kalian mau, suatu
reformas kontra-revolusioner, guna menjegal apa yang nampak seperti situasi
revolusioner. Dalam arti yang sama, dan ini hal aneh untuk mengatakannya,
alih-alih aku rindu Perang Dingin. Pada puncaknya Barat di Dunia Ketiga dan di
Amerika Latin mendorong reforma agraria, karena mereka takut pengambilalihan
komunis di Amerika Latin, sebagian Afrika, Asia Tenggara, atau Vietnam. Reforma
agraria adalah suatu upaya mengatasi komunis untuk redistribusi egalitarian
untuk komoditas paling penting bagi kaum tani gurem: tanah. Sejak 1989, aku
menantang kalian untuk menemukan dokumen Bank Dunia atau IMF yang membahas
secara serius mengenai reforma agraria. Begitu momen Blok Sosialis sirna,
reforma agraria tidak pernah dikemukakan lagi.
PWW Anda
berbicara mengenai nostalgia. Kembali pada gagasan ini yang kadangkala dalam
E.P. Thompson dan dalam karya Anda muncul, dan ini bisa jadi dikritisi atau
tidak, suatu nostalgi atau kritik romantik modernisasi. Sebagai misal, dalam
Seeing Like a State, Anda entah mengapa tak menghargai – aku tahu kalau ini
bukan kata yang pantas – proyek urban sebuah kota seperti Brasilia dan
memberikan pujian pada sebuah kota seperti Bruges. Bukankah ada resiko kalau
keterpikatan romantik Anda akhirnya mengidealkan suatu pabrik urban kota-kota
seperti Bruges?
JCS Ya.
Aku mencoba menggunakan Bruges sebagai misal suatu kota yang tumbuh lebih
kurang secara organik tanpa rencana terpusat pun, sebagaimana juga Damascus
atau Fez: hampir tidak ada jalanan bersudut siku-siku, gang-gang yang ada
biasanya hasil dari jalansetapak-jalansetapak dan lintasan-lintasan dari
periode sebelumnya, dan demikianlah kalian mendapatkan bentuk urban yang di
dalamnya ada suatu kesatuan fungsi dan tiadanya rencana terpusat menyeluruh.
Penggunaanku atas Bruges bukan untuk memuji hubungan-hubungan sosial pada awal
kota, sebagai egalitarian dan wajar, tapi untuk memberikan suatu misal dari
suatu kota yang tumbuh yang secara mendasar berbeda dari kota-kota pencerahan
seperti Chicago, Philadelphia, atau Brasilia, yang mana direncanakan dari atas.
Alasan aku menggunakan Brasilia, sesungguhnya, karena direncanakan oleh para
arsitek sayap kiri (Lucio Costa dan Oscar Niemeyer), yang punya keyakinan
komunis dan suatu gagasan tentang apa yang rakyat butuhkan dalam hal “begitu
banyak” irama dan ruang persegi, “begitu melimpah” udara, air, jendela, cahaya
matahari. Tentu ini adalah sebuah kota administratif untuk para administratur,
tapi mereka pikir mereka sedang merencanakan untuk, jika kalian suka,
kesejahteraan rakyat. Apa yang menarik adalah bahwa rakyat yang mereka
rencanakan adalah rakyat abstrak. Mereka mungkin sebagaimana masyarakat di
Togo, Afrika Selatan, Laos atau Kamboja. Mereka tidak mempunyai sejarah, selera
dan nilai. Itu adalah perencanaan abstrak untuk manusia abstrak dengan
kebutuhan-kebutuhan manusiawi yang abstrak. Tidak ada, dalam artian,
historisitas mengenainya, tidak pernah menyentuh dasar. Sebagai hasilnya, kota
yang benar-benar tak berhasil. Ada suatu penyakit psiko-analitis yang
didiagnosa sebagai brasilites, karena orang-orang yang pindah dari Sao Paulo
dan Rio ke Brasilia terjangkit suatu depresi klinis, karena hanya ada kerja dan
apartemenya. Aku tak bermaksud mengumbulkan pengaturan-pengaturan tradisional hanya
karena itu adalah pengaturan-pengaturan tradisional. Mereka menyandikan
ketaksetaraan-ketaksetaraan akbar, keluarga patriarkal, segala macam bentuk,
jika kalian suka, penindasan bahasa daerah. Tapi aku memaksudkan untuk
membandingkannya dengan Negara yang diamanati rencana-rencana modernis tinggi
yang, bagiku terlihat, bahkan lebih sulit untuk mengubah dan menjebol.
PWW Mungkinkah
memikirkan mengenai suatu proyek politik yang tak bakal secara hakekat menjadi
sangat terstandarisasi, seperti yang terjadi dengan para utopia rasionalis
pembangunan modernis tinggi sebagaimana kau memapaparkannya?
JSC Aku
ragu apakah aku dapat lulus menjawab pertanyaan itu, dalam artian bahwa aku tak
cakap meramalkan masa depan atau pemikiran utopia. Satu hal yang aku dapat katakan
adalah bahwa kita belaka dapat memahami mengapa orang-orang sekarang
mempelajari Anarkisme, yang telah menghilang dari kajian-kajian akademik selama
30 – 40 tahun, dengan dua pengamatan. Pertama adalah bahwa bentuk-bentuk
sosialis dari negara-pelopor modernisasi dan program-program egalitarian
terbukti gagal atau buruk. Kedua adalah bahwa, ragam kerusuhan yang kalian
lihat tidak distruktur atau diorkestrasi oleh gerakan-gerakan sosial
terorganisir, partai-partai sayap kiri dan sejenisnya. Mereka adalah ledakan
kemurkaan dan kegeraman, seperti dalam indignados, lihatlah di pinggiran Paris,
kerusuhan-kerusuhan ghetto tahun 1960-an di Amerika Serikat, dan lihatlah
gerakan Occupy Wall Street. Seseorang harus memperhitungkan perubahan bentuk
tindakan publik, yang mana aku juga akan memasukan Arab Spring. Apa yang
menarik bagiku adalah bahwa ada gerakan-gerakan yang mengambil tempat saat
sayap kiri Persaudaraan Islam memutuskan ingin mempersekutukan dirinya sendiri
dengan gerakan-gerakan tersebut. Ini sangat terlambat dalam permainan: mereka
tidak memicunya dan, malahan, berdiri menyisih. Jadi, jika kita ingin memahami
bentuk empiris protes terkini, ini nampak lebih seperti kelompok-kelompok kecil
yang bersekutu karena ketetanggaan. Ada bentuk anarkis padanya. Aku sedang
bertengkar dengan penerbitku tentang sampul buku Two cheers for anarchism . . .
Meraka akan menang dan aku kalah. Tapi sampul yang aku suka, yang mana tidak
akan kalian lihat, adalah grafiti sesungguhnya yang di dalamya seseorang
menulis “Sebarkan Anarki” pada tembok
dan tulisan itu dicoret silang oleh seorang lain yang di bawahnya menulis
“Jangan gurui apa yang aku lakukan!”. Aku katakan pada penerbitku ini akan
menjadi sampul yang berhasil. Dan apa lagi cara yang lebih baik dari memulai
sebuah buku dengan gelak tawa! Dalam setiap kasus, mereka tidak membeli ini,
tapi mengutipnya, fragmentasi protest kekinian.
*
(Kemudian ruang diskusi dibuka. Untuk seterusnya,
pertanyaan-pertanyaan diajukan peserta)
PST Karya James Scott sangat penting untuk
memahami di mana kaum tani gurem hari ini, terutama setelah meninggalkan
pedesaan dan tiba di kota. Di sini kaum tani gurem mengalami perjumpaan baru,
mungkin hubungan baru, menghadapi kerangka-kerangka baru dominasi dan
perlawanan. Jadi, aku ingin tahu pendapat James Scott mengenai bagaimana
karyanya dapat digunakan untuk memahami gerakan terkini kaun tani gurem lama
dan baru. Aku juga hendak mengundang James Scott untuk berpikir mengenai etik
dan pertanggungjawaban, tidak hanya ilmuwan-ilmuwan sosial, tapi ilmu umum
mengenai karya mereka sendiri. Terima kasih.
JSC Aku
belum mengkaji migrasi dan kaum tani gurem yang pindah ke kota-kota, meski aku
paham, tentu, alangkah lazimnya migrasi semacam ini. Aku kira alasan mengapa
aku tergoda Antropologi adalah etos kerja-lapangnya, yakni, gagasan bahwa
kewajiban pertama sebagai seorang etnograf adalah berusaha, sesungguhnya,
dengan cara awam dan terbuka guna memahami dunia kehidupan orang lain; dunia
kehidupan yang tidak akrab denganmu. Aku bayangkan kajian-kajian migrasi, yang
padanya aku punya rasa hormat paling besar, adalah kajian-kajian yang di
dalamnya tidak hanya mengkaji kaum tani gurem di kota (generasi pertama dan
kedua), tapi juga perpindahan ulang-alik di antaranya, katakanlah di Amerika
Serikat. Para pekerja Meksiko yang pulang kembali ke Oaxaca setiap liburan.
Dalam artian, bagi banyak kaum tani gurem alasan untuk pindah ke kota seperti
penjarahan atau operasi perompakan untuk memperoleh sumber-sumber guna
memperkuat kampung halaman mereka. Satu buku yang hebat tentang hal ini adalah
Cultural Disenchantments, mengenai para pekerja kaum tani gurem Friuli, di
Italia. Argumennya adalah bahwa masyarakat tersebut bukan kaum tani gurem dalam
perjalanan mereka untuk menjadi pekerja, mereka adalah para pekerja kaum tani
gurem. Mereka telah bermigrasi dari Friuli selama 500 tahun, pergi ke Italia
Utara, Amerika Serikat, dan pulang kembali sewaktu-waktu. Mereka karar di
antara kategori kaum tani gurem dan pekerja. Aku kira, dalam istilah komitmen
etis, batu pijak keberangkatan adalah pemahaman dunia kehidupan dari khalikah
siapapun yang kalian ditarik ke dalam curahan cahaya atau pencerahan. Perkakas
konseptual yang kau rakit untuk itu adalah tertentu untuk setiap masalah.
Maksudnya, ketika kamu mengajukan pada dirimu sendiri suatu pertanyaan yang
berhasil – yang mana dua pertiga dari penelitian – perkakas-perkakas akan
mengikuti pertanyaan tersebut, daripada mendahuluinya. Ada beberapa ilmu sosial
yang memberimu kotak perkakas dan mengirimmu keluar agar kamu dapat menggunakan
perkakas-perkakas tersebut pada sembarang masyarakat. Aku menyarankan
sebaliknya: kamu mengajukan pertanyaan penting dan kemudian bertanya “perkakas
apa yang akan membantuku untuk memahami masalah ini?”, daripada memulai dengan
perkakas-perkakas.
PST Aku
takjub karena Anda dapat mengomentari mengenai Kelompok Kajian Subaltern Asia Tenggara. Aku menanyakan ini
terutama karena tendensi dari beberapa sarjana terkemuka kelompok tersebut
mensubordinasi fokus pada arsip, yang adalah tempat yang Anda anjurkan kaum
tani gurem tak kesana.
JCS Banyak
dari kalian mungkin akrab dengan Kajian Subaltern, semacam koleksi tahunan. Aku
kira cendekiawan tulen yang menginspirasi hal ini adalah Ranajit Guha dan
kawan-kawannya. Dan Guha, yang darinya aku belajar banyak hal (sebagai misal The Prose of Counter-insurgency dan juga
A Rule of Property for Bengal: An Essay
on the Idea of Permanent Settlement), berupaya untuk mengikhtisarkan suatu
cara pembacaan dokumen-dokumen resmi yang menentang biji-bijian.
[1]
James C. Scott mengunjungi Portugal untuk ikutserta dalam kegiatan penelitian
proyek FCT “The Making of State Power in Portugal 1890-1986”
(PTDC/HIS-HIS/104166/2008). Disamping dukungan finansial daro FCT, kunjungan
Scott juga mendapat tunjangan dari dukungan finansial FLAD.
Posting Komentar